Senin, 07 November 2011

Yongwie



DUNIA memang pernah mengenal banyak gitaris hebat. Mulai dari mendiang Jimi Hendrix, BB King, Johnny Winter, Ritchie Blackmore, (alm) Gary Moore, Randy Rhoads, George Lynch, Joe Satriani, Jimmy Page, Angus Young, Eddie Van Halen, dan banyak lagi. Namun, hanya satu yang sempat bikin heboh dengan teknik dan kecepatan tangannya dalam menyayat dawai gitar.  Dialah Yngwie Malmsteen.Ya,,,,di era 1980-an, Yngwie memang sempat jadi fenomena di kalangan gitaris rock/heavy meatl saat muncul dengan album debut Rising Force di tahun 1984. Kecepatan tangannya dalam melakukansweep, yang dipadukan dengan nada-nada minor, serta teknik tinggi yang dipertontonkan gitaris asal Swedia ini seperti menciptakan standar baru dalam hal kecepatan dan teknik bergitar,  terutama di jalur rock dan heavy metal. Padahal, ketika itu, Yngwie baru berusia 21 tahun!. 

BIKIN GEMPAR - Inilah debut album Yngwie Malmsteen yang menggemparkan (foto: guitarholic)
Permainan Yngwie yang kuat dengan sentuhan blues, rock, dan pengaruh klasik kental ala maestro musik klasik, Niccolo Paganini dan JS Bach, yang begitu memesona, dianggap merupakan sesuatu yang baru. Aliran heavy metal yang diusung Yngwie ini kemudian dimasukkan dalam genre “neo-classical metal”.

Oleh Majalah Guitar Player, album Rising Force, yang hanya memuat dua lagu dengan vokal (”Now Your Ships are Burn”dan “As Above So Below”) dari total delapan lagu, dianugerahi penghargaan sebagai Best Rock Album. Album ini juga sempat masuk nominasi sebagai “Best Rock Instrumental”. Sementara di kalangan metal head, ketika itu album Rising Force dijadikan rujukan khusus.
Yngwie, yang sebelumnya pernah bergabung dengan band Steeler dan Alcatrazz pun mendapat julukan sebagai “Bapak Gitaris Shredder”. Memang, gitaris Shredder alias gitaris yang sangat mengandalkan kecepatan di setiap solo gitarnya, sebenarnya sempat melekat pada diri Eddy Van Halen, saat memperkenalkan gaya “two handed tapping” di lagu instrumental “Eruption” di album selftitled, Van Halen, di 1978.

Namun, sulit disangkal, Yngwie-lah yang memodifikasi sekaligus mempopulerkan teknik shredding ini. Hingga kemudian muncul nama-nama yang juga lekat dengan sebutan pendekar gitaris shredder. Sebut saja Steve Vai, Jason Becker, Marty Friedman, Paul Gilbert, Greg Howe , Ritchie Kotzen, hingga duet gitaris Dragon Force yang pernah main di Indonesia, Herman Li dan Sam Tontman.

Sementara di Indonesia sendiri, ketika itu ada nama-nama seperti Eet Syahranie, Tjahyo Wisanggeni, Ipung (Power Metal), Beng Beng (PAS), Lucky (Andromedha), Baron (GIGI), atau Ezra Simanjuntak, yang belakangan bangkit dengan Zi Factor.

Dalam sebuah wawancara, Yngwie sendiri mengaku gaya bermainnya memang sangat dipengaruhi musik klasik, utamanya Bach dan Paganini. “Saya sudah mengenal musik klasik sejak usia 5 tahun,” ujar Yngwie, yang lahir di Stockholm, Swedia, 30 Juni 1963. “Ibu saya penggemar fanatik Bach. Dua kakak saya bermain flute, piano, violin dan accordion. Mereka semua memainkan musik klasik, sehingga saya tumbuh dengan iringan musik klasik.”

Sementara akar rock dan blues, didapat Yngwie dari pengaruh Jimi Hendrix dan Ritchie Blackmore, yang merupakan dua gitaris idolanya. Saya sendiri, pertama kali mengenal Yngwie, saat masih duduk di kelas 1 SMA. Ketika itu, seorang kawan meminjamkan album Eclipse (1990) yang mencuatkan hits “Save Our Love”. Terus terang, saya langsung tergila-gila akan lagu “Bedroom Eyes”. Di album ini, saya juga menyukai vokal Goran Edman, yang, menurut saya agak mirip Joey Tempest, vokalis Europe.

Dan, seperti kebiasaan saya ketika itu, setelah menemukan “grup baru” saya langsung mengulik album-album mereka sebelumnya, hingga saya menemukan album Odissey (1988), yang kata orang merupakan album terbaik Yngwie. Alhasil, meski bukan penggemar fanatik Yngwie, saya pun sempat memiliki kaset album tersebut dari hasil uang tabungan jajan sekolah. Saya sendiri setuju jika album Odissey disebut-sebut sebagai salah satu album terbaik Yngwie, selain  Rising Force, tentunya. Selain pilihan sound gitar Yngwie, yang lebih ngerock, lagu-lagu serta melodi di album ini juga lebih enak di telinga.

Tapi, tentu, ciri khas Yngwie, dalam hal permainan cepat dan teknik tinggi, sama sekali tak hilang. Dengar saja lagu“Déjà vu”, Riot in the Dungeons, “Faster than the Speed of Light”, “Bite the Bullets”, atau lagu “Rising Force” yang legendaris itu.  Tak heran, secara komersial, album ini termasuk yang paling laku di pasaran.

Yang menarik, di album ini, juga adalah komposisi instrumental berjudul “Krakatau” yang begitu dahsyat. Tapi, saya sendiri tak tahu, apakah Krakatau yang dimaksud Yngwie ini, adalah gunung di Selat Sunda, yang pernah meletus hebat pada 26-27 Agustus 1883.  Yang jelas, dua tahun setelah merilis album Odissey ini, Yngwie sempat menggelar tur di Indonesia, di Jakarta, Solo, dan Surabaya.

G3 - Yngwie (paling kiri) beraksi dalam sebuah konser G3
bersama Steve Vai (tengah) dan Joe Satriani (foto:flickr)
Dan, hingga merilis album terakhir,Relentless, November 2010 lalu, Yngwie yang telah mengeluarkan lebih dari 30 album,  tak juga lelah mengeksplorasi keandalannya menyayat dawai gitar. Bahkan, di album ini, Yngwie secara khusus membuat lagu“Arpeggios from Hell”, yang mengeksplor kecepatan dan keahlian tangannya.

Di luar album-album solonya, Yngwie juga sempat merilis album kolaborasi dengan dua gitaris top lainnya: Joe Stariani dan Steve Vai. Album yang dirilis tahun 2004 itu diberi judul “G3: Rockin’ in the Free World”. Di album ini, selain memainkan empat lagu secara solo, Yngwie juga sempat nge-jam bareng Satriani dan Vai di tiga lagu: “Voodo Child“ dan “Little Wing“ milik Jimi Hendrix dan “Rockin’ in the Free World“ (Neil Young).

Tak Lupakan Balada
Seperti juga musisi hard rock dan heavy metal lainnya, Yngwie juga tak melupakan lagu-lagu balada yang manis di setiap albumnya. Ketika itu, di tahun 1980-1990-an, lagu-lagu balada memang jadi jualan yang ampuh untuk diselipkan dalam album grup heavy metal.

Maka itu muncullah lagu “Now is the time” dan “Dreaming” di album Odissey, I’m My Own Enemy (album Fire and Ice), Prisoner of Your Love (The Seven Sight), dan lagu legendaris “Save Our Love” di album Eclipse.

Tentu memang, tak salah, Yngwie tetap menyelipkan lagu-lagu sweet di setiap albumnya. Setidaknya, ini bisa menjadi intermezo bagi pendengar musiknya, setelah telinga mereka lelah digeber dengan nomor-nomor cepat dan raungan gitar Yngwie.

Gonta-ganti Vokalis
Seperti gitaris solo lainnya, Yngwie yang kemudian membentuk band Yngwie J. Malmsteen’s Rising Force, juga kerap bergonta-ganti vokalis. Jeff Scott Soto menjadi vokalis pertama yang didapuk Yngwie untuk tampil di dua album pertamanya, Rising Force dan Marching Out, sebelum digantikan Marc Boals di album Trilogy (1986).

Pada tahun 1987, Yngwie merekrut Joe Lynn Turner, yang pernah menjadi vokalis grup legendaris Rainbow. Awalnya, banyak penggemar Yngwie yang meragukan kapasitas Turner untuk bermain di nada-nada tinggi khas lagu-lagu Yngwie.

WARNA TERSENDIRI - Joe Lynn Turner memberi warna tersendiri di musik Yngwie,
 terutama di album Odissey. (foto: bestmetalsongs)
Maklum, dua vokalis terdahulu, Soto dan Boals, dikenal memiliki vokal melengking dan garang. Vokal Boals bahkan konon mencapai empat oktaf! Namun, Turner mampu membuktikan kemampuannya di album Odissey. Dengar saja lengkingannya di lagu “Rising Force”.

Di sisi lain, dengan vokal khas rock-nya, Turner membuat lagu-lagu seperti “Hold On” dan “Heaven Tonight”, serta“Dreaming” jadi familiar di telinga pencinta heavy metal ketika itu. Imbasnya, lagu-lagu Yngwie pun jadi semakin diterima. Namun Turner pun tak lama, lantaran digantikan Goran Edman di album Eclipse (1990). Lalu masuk Michael Vescera  di album Seven Sight (1994).

Vescera adalah rocker asal Amerika Serikat yang pernah menjulang bersama grup metal asal Jepang, Loudness. Mereka pertama kali mencuat lewat album Soldier of Fortunedi tahun 1989. Total, hingga sekarang, Yngwie telah delapan kali berganti vokalis.

Sebelum bergabungnya, mantan vokalis Judas Priest, Tim “Ripper” Owens, sejak album Perpetual Flame (2008), yang bertahan hingga sekarang, Yngwie juga sempat mengajak Doogie White di album Attack (2002) dan Unleash the Fury (2005). Soto dan Boals juga sempat kembali bergabung di album Inspiration (1996) dan Alchemy (1999).
Read more »

 
Powered by Blogger | Tested by Blogger Templates | Best Credit Cards