DUNIA
memang pernah mengenal banyak gitaris hebat. Mulai dari mendiang Jimi
Hendrix, BB King, Johnny Winter, Ritchie Blackmore, (alm) Gary Moore,
Randy Rhoads, George Lynch, Joe Satriani, Jimmy Page, Angus Young, Eddie
Van Halen, dan banyak lagi. Namun, hanya satu yang sempat bikin heboh
dengan teknik dan kecepatan tangannya dalam menyayat dawai gitar.
Dialah Yngwie Malmsteen.Ya,,,,di
era 1980-an, Yngwie memang sempat jadi fenomena di kalangan gitaris
rock/heavy meatl saat muncul dengan album debut Rising Force di tahun
1984. Kecepatan tangannya dalam melakukansweep, yang dipadukan dengan
nada-nada minor, serta teknik tinggi yang dipertontonkan gitaris asal
Swedia ini seperti menciptakan standar baru dalam hal kecepatan dan
teknik bergitar, terutama di jalur rock dan heavy metal. Padahal,
ketika itu, Yngwie baru berusia 21 tahun!.
BIKIN GEMPAR - Inilah debut album Yngwie Malmsteen yang menggemparkan (foto: guitarholic)
|
Permainan
Yngwie yang kuat dengan sentuhan blues, rock, dan pengaruh klasik
kental ala maestro musik klasik, Niccolo Paganini dan JS Bach, yang
begitu memesona, dianggap merupakan sesuatu yang baru. Aliran heavy
metal yang diusung Yngwie ini kemudian dimasukkan dalam genre
“neo-classical metal”.
Oleh
Majalah Guitar Player, album Rising Force, yang hanya memuat dua lagu
dengan vokal (”Now Your Ships are Burn”dan “As Above So Below”) dari
total delapan lagu, dianugerahi penghargaan sebagai Best Rock Album.
Album ini juga sempat masuk nominasi sebagai “Best Rock Instrumental”.
Sementara di kalangan metal head, ketika itu album Rising Force
dijadikan rujukan khusus.
Yngwie,
yang sebelumnya pernah bergabung dengan band Steeler dan Alcatrazz pun
mendapat julukan sebagai “Bapak Gitaris Shredder”. Memang, gitaris
Shredder alias gitaris yang sangat mengandalkan kecepatan di setiap solo
gitarnya, sebenarnya sempat melekat pada diri Eddy Van Halen, saat
memperkenalkan gaya “two handed tapping” di lagu instrumental “Eruption”
di album selftitled, Van Halen, di 1978.
Namun,
sulit disangkal, Yngwie-lah yang memodifikasi sekaligus mempopulerkan
teknik shredding ini. Hingga kemudian muncul nama-nama yang juga lekat
dengan sebutan pendekar gitaris shredder. Sebut saja Steve Vai, Jason
Becker, Marty Friedman, Paul Gilbert, Greg Howe , Ritchie Kotzen, hingga
duet gitaris Dragon Force yang pernah main di Indonesia, Herman Li dan
Sam Tontman.
Sementara
di Indonesia sendiri, ketika itu ada nama-nama seperti Eet Syahranie,
Tjahyo Wisanggeni, Ipung (Power Metal), Beng Beng (PAS), Lucky
(Andromedha), Baron (GIGI), atau Ezra Simanjuntak, yang belakangan
bangkit dengan Zi Factor.
Dalam
sebuah wawancara, Yngwie sendiri mengaku gaya bermainnya memang sangat
dipengaruhi musik klasik, utamanya Bach dan Paganini. “Saya sudah
mengenal musik klasik sejak usia 5 tahun,” ujar Yngwie, yang lahir di
Stockholm, Swedia, 30 Juni 1963. “Ibu saya penggemar fanatik Bach. Dua
kakak saya bermain flute, piano, violin dan accordion. Mereka semua
memainkan musik klasik, sehingga saya tumbuh dengan iringan musik
klasik.”
Sementara
akar rock dan blues, didapat Yngwie dari pengaruh Jimi Hendrix dan
Ritchie Blackmore, yang merupakan dua gitaris idolanya. Saya sendiri,
pertama kali mengenal Yngwie, saat masih duduk di kelas 1 SMA. Ketika
itu, seorang kawan meminjamkan album Eclipse (1990) yang mencuatkan hits
“Save Our Love”. Terus terang, saya langsung tergila-gila akan lagu
“Bedroom Eyes”. Di album ini, saya juga menyukai vokal Goran Edman,
yang, menurut saya agak mirip Joey Tempest, vokalis Europe.
Dan,
seperti kebiasaan saya ketika itu, setelah menemukan “grup baru” saya
langsung mengulik album-album mereka sebelumnya, hingga saya menemukan
album Odissey (1988), yang kata orang merupakan album terbaik Yngwie.
Alhasil, meski bukan penggemar fanatik Yngwie, saya pun sempat memiliki
kaset album tersebut dari hasil uang tabungan jajan sekolah. Saya
sendiri setuju jika album Odissey disebut-sebut sebagai salah satu album
terbaik Yngwie, selain Rising Force, tentunya. Selain pilihan sound
gitar Yngwie, yang lebih ngerock, lagu-lagu serta melodi di album ini
juga lebih enak di telinga.
Tapi,
tentu, ciri khas Yngwie, dalam hal permainan cepat dan teknik tinggi,
sama sekali tak hilang. Dengar saja lagu“Déjà vu”, Riot in the Dungeons,
“Faster than the Speed of Light”, “Bite the Bullets”, atau lagu “Rising
Force” yang legendaris itu. Tak heran, secara komersial, album ini
termasuk yang paling laku di pasaran.
Yang
menarik, di album ini, juga adalah komposisi instrumental berjudul
“Krakatau” yang begitu dahsyat. Tapi, saya sendiri tak tahu, apakah
Krakatau yang dimaksud Yngwie ini, adalah gunung di Selat Sunda, yang
pernah meletus hebat pada 26-27 Agustus 1883. Yang jelas, dua tahun
setelah merilis album Odissey ini, Yngwie sempat menggelar tur di
Indonesia, di Jakarta, Solo, dan Surabaya.
G3 - Yngwie (paling kiri) beraksi dalam sebuah konser G3 bersama Steve Vai (tengah) dan Joe Satriani (foto:flickr) |
Dan,
hingga merilis album terakhir,Relentless, November 2010 lalu, Yngwie
yang telah mengeluarkan lebih dari 30 album, tak juga lelah
mengeksplorasi keandalannya menyayat dawai gitar. Bahkan, di album ini,
Yngwie secara khusus membuat lagu“Arpeggios from Hell”, yang mengeksplor
kecepatan dan keahlian tangannya.
Di
luar album-album solonya, Yngwie juga sempat merilis album kolaborasi
dengan dua gitaris top lainnya: Joe Stariani dan Steve Vai. Album yang
dirilis tahun 2004 itu diberi judul “G3: Rockin’ in the Free World”. Di
album ini, selain memainkan empat lagu secara solo, Yngwie juga sempat
nge-jam bareng Satriani dan Vai di tiga lagu: “Voodo Child“ dan “Little
Wing“ milik Jimi Hendrix dan “Rockin’ in the Free World“ (Neil Young).
Tak Lupakan Balada
Seperti
juga musisi hard rock dan heavy metal lainnya, Yngwie juga tak
melupakan lagu-lagu balada yang manis di setiap albumnya. Ketika itu, di
tahun 1980-1990-an, lagu-lagu balada memang jadi jualan yang ampuh
untuk diselipkan dalam album grup heavy metal.
Maka
itu muncullah lagu “Now is the time” dan “Dreaming” di album Odissey,
I’m My Own Enemy (album Fire and Ice), Prisoner of Your Love (The Seven
Sight), dan lagu legendaris “Save Our Love” di album Eclipse.
Tentu
memang, tak salah, Yngwie tetap menyelipkan lagu-lagu sweet di setiap
albumnya. Setidaknya, ini bisa menjadi intermezo bagi pendengar
musiknya, setelah telinga mereka lelah digeber dengan nomor-nomor cepat
dan raungan gitar Yngwie.
Gonta-ganti Vokalis
Seperti
gitaris solo lainnya, Yngwie yang kemudian membentuk band Yngwie J.
Malmsteen’s Rising Force, juga kerap bergonta-ganti vokalis. Jeff Scott
Soto menjadi vokalis pertama yang didapuk Yngwie untuk tampil di dua
album pertamanya, Rising Force dan Marching Out, sebelum digantikan Marc
Boals di album Trilogy (1986).
Pada
tahun 1987, Yngwie merekrut Joe Lynn Turner, yang pernah menjadi
vokalis grup legendaris Rainbow. Awalnya, banyak penggemar Yngwie yang
meragukan kapasitas Turner untuk bermain di nada-nada tinggi khas
lagu-lagu Yngwie.
WARNA TERSENDIRI - Joe Lynn Turner memberi warna tersendiri di musik Yngwie, terutama di album Odissey. (foto: bestmetalsongs) |
Maklum,
dua vokalis terdahulu, Soto dan Boals, dikenal memiliki vokal
melengking dan garang. Vokal Boals bahkan konon mencapai empat oktaf!
Namun, Turner mampu membuktikan kemampuannya di album Odissey. Dengar
saja lengkingannya di lagu “Rising Force”.
Di
sisi lain, dengan vokal khas rock-nya, Turner membuat lagu-lagu seperti
“Hold On” dan “Heaven Tonight”, serta“Dreaming” jadi familiar di
telinga pencinta heavy metal ketika itu. Imbasnya, lagu-lagu Yngwie pun
jadi semakin diterima. Namun Turner pun tak lama, lantaran digantikan
Goran Edman di album Eclipse (1990). Lalu masuk Michael Vescera di
album Seven Sight (1994).
Vescera
adalah rocker asal Amerika Serikat yang pernah menjulang bersama grup
metal asal Jepang, Loudness. Mereka pertama kali mencuat lewat album
Soldier of Fortunedi tahun 1989. Total, hingga sekarang, Yngwie telah
delapan kali berganti vokalis.
0 komentar:
Posting Komentar